Ilusi Demokrasi Masa Transisi di Tahun Politik

bersuara | 25 July 2024, 09:47 am | 432 views

JIKA dirasa-rasa, pemikiran orang awam, selama 25 tahun perjalanan reformasi, justru yang terjadi banyak menimbulkan kegaduhan politik nasional, dibarengi rentetan bencana kelaparan, rendahnya moralitas pemimpin masyarakat. Jangan-jangan, demokrasilah sumber semua ini?.

Tentu, yang beranggapan demokrasi merupakan sumber segala konflik dan kegaduhan di tahun politik, mungkin hanya segelintir orang. Banyak kalangan akan setuju bahwa, melihat kegaduhan dan konflik itu muncul merupakan dampak proses berdemokrasi dan sama sekali bukan bagian proses demokrasi yang sewajarnya. Keyakinan itu tertanam kuat sekali, jika demokrasi akan mendatangkan kemaslahatan umat dan kebaikan.

Jika kita masuk ke pelosok desa, di jalanan, bertemu tukang becak, tukang ojol, ibu-ibu pedagang sayur, kita dapat mendengar berbagai penuturan tingkatan grass root yang cukup beragam, sebentuk apakah demokrasi itu?. Makhluk semacam apakah demokrasi itu? 

Mengapa 25 tahun bergulirnya reformasi, yang terjadi justru naiknya harga kebutuhan hidup sehari-hari sebagai peristiwa sosial dalam lingkungan terdekat.

Atas fenomena tersebut, penulis melihat, terdapat dua kesimpulan sementara yang dapat digunakan sebagai penilaian. Pertama, tingkat pemahaman yang tak merata tentang pengertian demokrasi itu sendiri. Sebab, dalam serentang sejarah (paralelisme historis diakronis) berdirinya republik, kita mengenal beberapa orde (periode kepemimpinan) yang tumpuannya berbeda-beda. Dalam setiap orde tersebut, selalu berubah makna demokrasi. 

Kita mengenal dua paham pada era Orla, Soekarno berkuasa, tentang demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Era Orba, Soeharto berkuasa, kembali berganti corak dan makna demokrasi, hukum adalah puncak tertinggi aturan main kenegaraan dan jadilah negara kita negara hukum. 

Baca juga : SIM Keliling Bekasi Sabtu 15 Juni Hadir Di Metropolitan Mall

Namun, model kepemimpinan tersentral dan otoriter, menyebabkan banyak penyimpangan. Pada era Orba kita mengenal sebutan tentang ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar). Maka yang lahir adalah sebuah rezim otoriter, birokratik rente. Juga dalam era reformasi dengan bergantinya presiden (Habibie hingga Joko Widodo), belum jua mengukuhkan makna-pengartian demokrasi meskipun upaya percepatan dilakukan.

Kedua, terjadi jarak yang bertingkat antara yang dipimpin dan yang memimpin. Sehingga proses komunikasi, transformasi, sosialisasi berkait dengan himbauan, kebijakan, bahkan ketetapan, masyarakat cenderung abai, terkesan menyambut dengan nyinyiran. Belum lagi yang dirasakan getir bagi masyarakat adalah soal korupsi, yang menggerogoti sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih-lebih demokrasi yang diterapkan lebih merupakan demokrasi tambal sulam.

 
KORUPSI SEBAGAI ALAT UKUR DEMOKRATISASI ?

Definisi demokrasi kini masih menjadi kebutuhan, demokrasi seperti apa yang ingin diterapkan. Demokrasi bersifat sentralistis ataukah terdesentralisasi. Demokrasi yang sentralistis, gabungan antara sistem monarki dan demokrasi, seperti diterapkan di Inggris, Jepang, Belanda, Thailand atau Malaysia. Artinya, di luar lembaga politik mempunyai ruangan pengaruh di legislatif dan eksekutif, masih ada ruang yang tak bisa diganggu, yaitu hak atas keluarga kerajaan. Atau kita langsung mengadopsi model demokrasi AS, yang diketahui cukup efektif penerapannya dengan tingkat korupsi rendah, di bawah Bill Clinton, AS menjadikan demokratisasi sebagai dasar politik luar negerinya mencapai perdamaian dunia.

AS bersikukuh, menyebarkan demokrasi berarti memperluas perdamaian. Sejarah pun telah menunjukkan, tidak ada dua negara demokrasi yang pernah saling memerangi. Lawrence E. Harrison, pernah membuat indeks negara-negara demokrasi. Indeks berskala satu sampai tujuh berisikan dua hal. 

Pertama, berkaitan dengan hak politik, Apakah para pimpinan pemerintahan dan anggota parlemen dipilih melalui pemilu, bebas dan bersih? Apakah warga negara berhak berkompetisi membentuk partai politik, organisasi lainnya? Apakah suara kelompok oposisi ada kesempatan realistik meningkatkan dukungannya?

Baca juga : Yandri Susanto Nilai Pelaksanaan Haji Tahun Ini Lebih Baik

Kedua, kebebasan sipil termasuk kebebasan dan independensi media, kebebasan berbicara, lembaga peradilan, kesamaan di bawah hukum, lembaga yudikatif yang tidak diskriminatif dan perlindungan teror politik. Ternyata indeks itu berkorelasi dengan Corruption Perception Index 2023 Indonesia, yang berada di peringkat 110 dari 180 negara.

Korelasinya, demokrasi punya kecenderungan menjadikan masyarakat lebih sejahtera. Meski, korelasinya belum sepenuhnya terkait korupsi, semakin demokratisnya sebuah negara semakin terbebas dari korupsi. Benarkah demikian?.

Sejumlah negara demokratis Asia tercatat sebagai negara dengan tingkat korupsinya yang tinggi. Sebaliknya, negara yang tergolong di level demokratis rendah, malah tingkat korupsinya rendah (Singapura dan Malaysia). Penggambarannya, ternyata demokrasi lebih menyimpan pertanyaan daripada memerangi korupsi. 

Korupsi juga terjadi di negara yang mayoritas penduduknya Kristen, Islam, Hindu, Buddha dll. Memang, pengaruh etika sangat positif terhadap pemberantasan korupsi. Tetapi etika tidak bisa semata-mata dikaitkan tinggi rendahnya keimanan pelaku korupsi.

 
Konteks Indonesia, terjadinya proses demokratisasi 1998 hingga 2023, mendasarkan data ICP mengalami penurunan skor 4 poin dari 2021. Artinya penurunan skor tingkat korupsi jangan dijadikan seolah-olah berkorelasi dengan “prestasi” demokrasi Indonesia.

MASA TRANSISI DI TAHUN POLITIK

Baca juga : Pusako Nilai Pemeriksaan Hasto Kental Nuansa Politik

Jack Snyder, penulis buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, 2000, menyangsikan tentang demokrasi. Uraiannya justru sejarah menunjukkan, demokratisasi, tepatnya masa transisi ke arah demokrasi, sering menimbulkan perang, SARA, disintegrasi bangsa. Perdamaian terpelihara hanya antara negara yang demokrasinya matang.

Lantas bagaimana demokrasi kita menyulut konflik SARA? Synder menyadari, secara populer nasionalisme mencakup banyak gejala, seperti kerusuhan etnis, politik luar negeri fasis yang agresif, patriotisme, perjuangan damai kelompok budaya guna mencapai hak-hak khusus. Bagi Synder, perubahan pengertian demokrasi juga mesti jelas, antara demokrasi yang matang dan yang sedang demokratisasi negara demokrasi yang matang, kebijakan pemerintah, termasuk politik luar negeri dan militer, diputuskan pejabat yang diangkat berdasarkan pemilihan umum yang luber dan jurdil. Semuanya didahului dengan kebebasan, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul.

Negara yang baru berusaha melaksanakan salah satu atau sebagian ciri-ciri tersebut merupakan negara yang sedang melakukan proses demokratisasi, sekalipun masih mengandung ciri-ciri lain bersifat tidak demokratik. Secara gamblang mencomot teori Synder, tentu kita dalam masa transisi, sedang berproses demokratisasi. Berdasar pengartian demokrasi dan nasionalisme, Synder mendedah bagaimana konflik (SARA dan kerusuhan) muncul akibat proses demokratisasi. Rahasianya terletak pada patisipasi politik!

Demokratisasi menuntut adanya partisipasi politik. Demikian juga nasionalisme (baca, politisasi SARA). Meskipun akhirnya partisipasi politik yang bersifat demokratik sangat berbeda dengan partisipasi politik yang bersifat nasionalistik. (*)

sumber: https://rm.id/baca-berita/pemilu/201616/ilusi-demokrasi-masa-transisi-di-tahun-politik

Berita Terkait